Ide mengenai hutan bernilai konservasi tinggi (High Conservation Value Forests, HCVFs) dikembangkan oleh Forest Stewardship Council (FSC) dan pertama kali diterbitkan pada tahun 1999. Kawasan dengan nilai konservasi tinggi secara sederhana adalah kawasan dimana nilai-nilai penting ini ditemukan. Dengan telah teridentifikasinya kawasan HCV, unit perkebunan harus merencanakan dan melaksanakan pengelolaan dengan cara sedemikian rupa agar dapat mempertahankan atau meningkatkannilai – nilai HCV yang diidentifikasi tersebut dan menerapkan program pemantauan (monitoring) untuk memeriksa apakah tujuan pelaksanaan pengelolaan ini dicapai. Pengelolaan suatu kawasan HCV merupakan bagian penting dari upaya menjaga kawasan HCV. Bentuk pengelolaan dapat berupa pengelolaan fisik dan non-fisik. Untuk jenis pengelolaan fisik antara lain pemasangan papan penanda kawasan HCV, patok batas kawasan HCV, poster terkait HCV dan restorasi. Sedangkan pengelolaan non-fisik antara lain sosialisasi HCV, pelatihan, dan kerjasama dengan stakeholder. Monitoring kawasan HCV merupakan bagian untuk melihat pola pelaksanaan pengelolaan yang telah dituangkan dalam rencana pengelolaan tahunan. Melalui monitoring ini, pengelola kawasan dapat menentukan tingkat keberhasilan pengelolaan dan data monitoring dapat dijadikan dasar untuk perbaikan atau peningkatan kualitas pengelolaan HCV di tahun berikutnya.
Proses monitoring dapat dibagi menjadi beberapa kategori berdasarkan nilainya, yaitu HCV ekologi, HCV Jasa Lingkungan dan HCV sosial budaya. Data yang diambil dalam monitoring rutin terdiri dari jenis – jenis ancaman dan biodiversitas. Ancaman dalam kawasan HCV merupakan faktor utama penyebab terganggunya kualitas dan kuantitas suatu kawasan HCV. Munculnya ancaman tersebut dapat memberikan pengaruh terhadap biodiversitas di sebuah kawasan, sehingga kedua hal ini tidak dapat dipisahkan dalam suatu proses monitoring. Dengan adanya data ancaman dan biodiversitas ini, dapat menggambarkan keberhasilan upaya pengelolaan sebuah kawasan HCV.
Peralatan Monitoring
Dalam melakukan monitoring, diperlukan peralatan penunjang agar hasil monitoring dapat lebih akurat. Perlengkapan dan peralatan yang dipakai atau dibawa saat pemantauan area HCV harus menjamin atau mencegah bahaya atau hambatan terhadap diri saat memasuki hutan atau menelusuri jalan setapak dalam hutan, bahaya dan hambatan ini seperti:
a. Tumbuhan; seperti rotan atau tanaman berduri, akar atau batang rambat bawah.
b. Hewan; seperti lintah (pacet), ular, lebah.
c. Hambatan alam; seperti kondisi pijakan kaki yang sulit karena kubangan lumpur atau aliran air dalam hutan.
d. Cuaca; seperti hujan dan panas.
Sebagai persiapan menghadapi hambatan seperti diatas, pakaian yang dipakai haruslah yang dapat mengatasi hambatan tersebut seperti ditunjukkan di bawah ini:
a. Gunakan baju yang mempunyai lengan panjang, celana panjang, dengan sepatu yang menutupi mata kaki (disarankan menggunakan sepatu boot karet).
b. Perlengkapan patrol masuk tertata dalam satu wadah dan letakknya diketahui, perlengkapan navigasi (GPS dan Kompas), dokumentasi (kamera, buku catatan) sebaiknya dalam tas terpisah dan aman dari air.
c. Masing-masing anggota tim hendaknya membawa perlengkapan komunikasi dan keperluan pribadi (makanan dan minuman) dan juga parang.
Peralatan utama yang penting digunakan dalam monitoring adalah sebagai berikut:
1. Peta kawasan yang menginformasikan kawasan HCV dan jalur akses di sekitar kawasan HCV yang dapat dilalui kendaraan.
2. Unit GPS yang sebaiknya telah berisi peta kawasan HCV untuk memudahkan navigasi
3. Teropong yang digunakan untuk melihat obyek dari jarak jauh, khususnya membantu identifikasi jenis – jenis satwa liar
4. Kamera digital yang digunakan untuk mendokumentasikan obyek pengamatan. Disarankan kamera yang digunakan memiliki resolusi tinggi (> 5 Megapixel)
5. Buku panduan lapangan, sebaiknya dibuat secara khusus dan hanya memuat informasi jenis – jenis flora fauna yang memiliki status Rare, Threatened and Endangered (RTE) atau langka, terancam dan hampir punah 6. Kompas, alat bantu navigasi tambahan apabila GPS mengalami masalah
7. Jam Tangan; sebagai alat penunjuk waktu selama kegiatan
8. Lembar pengisian data, alat tulis beserta cadangan (untuk efisiensi dapat pula digantikan dengan buku tulis namun perlu diingat bahwa lembar data harus diisi sebagai dokumen bukti dan kontrol kepada pihak estate) 9. Perlengkapan P3K (pertolongan pertama pada kecelakaan)
10. Parang (sebaiknya diberikan sarung dan digantung di pinggang (untuk faktor keamanan)
11. Perlengkapan anti air (poncho, wadah anti air untuk lembar pengisian data, drybags untuk alat elektronik).
Gambar 2. Contoh peralatan yang digunakan dalam monitoring HCV III.
Teknik Umum Monitoring
Pengambilan data monitoring ancaman dan keanekaragaman hayati dapat dilakukan dalam 2 (dua) kawasan HCV, yaitu HCV ekologi (HCV 1-3) dan HCV Jasa Lingkungan. Sedangkan untuk HCV 5 dan 6 prosesnya dapat dilakukan dengan mendatangi lokasi HCV 5 & 6 atau perkampungan warga untuk wawancara. Adapun gambaran umum dalam melakukan monitoring di setiap kawasan adalah sebagai berikut:
A. Monitoring HCV Ekologi (HCV 1 – 3)
Kategori kawasan HCV ekologi merupakan kawasan yang masih memiliki tutupan kanopi dan memiliki nilai HCV 1 – 3. Proses monitoring HCV ekologi secara umum adalah sebagai berikut:
1) Anggota Monitoring minimal 3 orang pada saat di lapangan. Tugas masing – masing anggota tim adalah sebagai berikut:
a. Orang pertama bertugas sebagai navigator dan pembuka jalur
b. Orang kedua bertugas melakukan identifikasi dan dokumentasi
c. Orang ketiga bertugas melakukan pencatatan dan mengambil point GPS
Gambar 3. Petugas monitoring di lapangan
2) Sebelum melakukan Monitoring, GPS harus dalam keadaan menyala dan track diaktifkan. Posisi start/awal dan end/akhir dari Monitoring diambil point.
3) Buat rencana jalur monitoring. Jalur monitoring dapat berupa sepanjang tepi hutan atau membuat jalur di dalam hutan (transek)
4) Pada saat melakukan monitoring di tepi hutan, tim mengikuti perbatasan antara hutan dan perkebunan. Tim diperbolehkan keluar dari jalur seharusnya dengan jarak maksimal 50 meter (ke dalam atau ke luar) dari tepi hutan
5) Jika ditemukan bekas atau tanda jalur masuk ke dalam hutan, tim wajib mengikuti hingga maksimal 100 meter ke dalam hutan. Jika tidak ditemukan gangguan/ancaman, tim kembali ke tepi hutan
6) Jika melakukan monitoring di dalam transek, pengambilan data dilakukan dengan menyusuri transek yang ditentukan
7) Jika ditemukan kerusakan pada tanda point transek, tim harus melakukan perbaikan tanda.
8) Setiap ancaman atau gangguan terhadap transek tetap dicatat dan dimasukkan dalam keterangan pengambilan data
9) Jika kondisi transek tidak memungkinkan untuk diambil datanya (banjir, terancam, kebakaran dll) tim diperbolehkan ke lokasi transek lain dengan memberitahukan kepada pimpinan
10) Setiap temuan, baik ancaman maupun keanekaragaman hayati, diambil point dan dicatat dalam form Monitoring
11) Jika bertemu penambang atau penebang pohon, usahakan didapatkan data sebanyak mungkin, yang antara lain meliputi jumlah dan nama pelaku, jumlah mesin, jumlah penghasilan per hari (kubik, gram emas/zircon) dan lain-lain.
12) Jika terjadi ancaman kepada tim, maka tim tidak diperkenankan melakukan reaksi melawan, melainkan segera meninggalkan area untuk melanjutkan Monitoring. Namun jika tidak diperkenankan memasuki area dengan berbagai alasan, tim diperbolehkan meninggalkan area Monitoring dan mencari lokasi baru. Setiap perubahan lokasi, tim diwajibkan memberikan informasi kepada pimpinan
13) Ancaman yang dapat dikontrol atau dihilangkan (seperti jerat, jaring) dapat dilakukan penindakan pengamanan untuk selanjutnya diserahkan kepada pimpinan tim 14) Setiap catatan pertemuan harus memuat informasi secara detil
15) Peralatan survey harus dijaga dengan baik
16) Tim harus mengutamakan keselamatan dan kesehatan kerja selama menjalankan kegiatan Monitoring di lapangan
B. Monitoring Jasa Lingkungan
Kawasan yang masuk dalam kriteria jasa lingkungan diantaranya adalah kawasan KPS (Kawasan Perlindungan Setempat). Diantara kawasan KPS adalah kawasan riparian. Kawasan riparian adalah badan air dan daerah penyangga atau sempadan (buffer). Dalam beberapa kawasan, terdapat area riparian yang memiliki tutupan kanopi (hutan) di sepanjang sempadannya. Meski demikian, tidak sedikit kawasan riparian yang terbuka atau tertanam jenis – jenis pohon perkebunan. Secara umum, proses monitoring kawasan riparian adalah sebagai berikut:
1) Anggota Monitoring minimal 3 orang pada saat di lapangan. Tugas masing – masing anggota tim adalah sebagai berikut:
a. Orang pertama bertugas sebagai navigator dan pembuka jalur
b. Orang kedua bertugas melakukan identifikasi dan dokumentasi
c. Orang ketiga bertugas melakukan pencatatan dan mengambil point GPS
2) Sebelum melakukan Monitoring, GPS harus dalam keadaan menyala dan track diaktifkan. Posisi start/awal dan end/akhir dari Monitoring diambil point.
3) Monitoring dilakukan di sepanjang aliran sungai/sekeliling danau/mata air/riparian yang masuk ke dalam area riparian. Untuk lokasi yang memiliki kerapatan hutan di sepanjang aliran sungai, Monitoring dilakukan di tepi hutan riparian (seperti pada monitoring hutan/HCVF)
4) Setiap temuan, baik ancaman maupun keanekaragaman hayati, diambil point dan dicatat dalam form Monitoring
5) Ancaman yang dapat dikontrol atau dihilangkan (seperti jerat, jaring, macuna, pelepah dan buah dengan jumlah sedikit) dapat dilakukan penindakan pembersihan. Khusus jerat dapat diamankan dan diserahkan kepada pimpinan tim
6) Jika kondisi jalur riparian tidak memungkinkan untuk Monitoring, tim diperbolehkan ke lokasi riparian lain dengan memberitahukan kepada pimpinan
7) Setiap catatan pertemuan harus memuat informasi secara detil
8) Peralatan survey harus dijaga dengan baik
9) Tim harus mengutamakan keselamatan dan kesehatan kerja selama menjalankan kegiatan Monitoring di lapangan
REFERENSI
The Forest Trust. 2018. Panduan Monitoring Gangguan dan Biodiversitas di Kawasan HCV. Semarang, Jawa Tengah.